Rabu, 31 Oktober 2012

Masih relevankah konsep "Kota Hijau" diterapkan di kabupaten


www.koran-jakarta.com

Kota sebagai organisme akan terus tumbuh dan berkembang seiring dengan berjumlahnya jumlah penduduk. Telah muncul prediksi banyak ahli bahwa pada tahun 2030 sebesar 60% jumlah penduduk akan tinggal di kota. Sebagai organisme, maka kota juga memiliki daya tahan berupa daya dukung dan daya tampung wilayah. Pengembangan kota yang tidak terkendali hanya akan memunculkan permasalahan yang mengganggu aktivitas warganya. Permasalahan tersebut diantaranya kemacetan, banjir, polusi, pencemaran, kekumuhan, kriminalitas, kesenjangan sosial dan berkurangnya ruang terbuka. 

Menanggapi permasalahan tersebut, maka perlu solusi untuk menjamin aktivitas warga kota berjalan sesuai harapan. Konsep-konsep yang berwawasan lingkungan mulai dijadikan panglima dalam pengembangan kota. Muncul berbagai istilah pada even kontekstual diantaranya eco city, sustainable city, ecological city, smart city, kota hijau, dan kota berkelanjutan. Konsep-konsep tersebut  berusaha menjawab tantangan pengembangan kota di masa mendatang bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak akan berarti apa-apa jika warganya tidak memiliki rasa bahagia tinggal di kota.

Lalu pertanyaannya adalah seperti apakah konsep konsep hijau tersebut dan bagaimana konsep tersebut bekerja di kota yang tingkat kompleksitas permasalahannya sangat tinggi. Kota hijau merupakan kota yang memanfaatkan air energi secara efektif dan efisien, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin kesehatan lingkungan, mensinergikan lingkungan alami dan buatan, berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (www.unep.org/wed). Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kota hijau tidak hanya memperbanyak ruang hijau tetapi juga memiliki infrastruktur yang ramah lingkungan bagi warganya serta komunitas yang concern. Kota hijau memiliki atribut diantaranya green planning and design, green open space, green water, green waste, green community, green transportation, green energy dan green building. Ke-delapan atribut tersebut merupakan sistem yang harus sinergi dalam implementasinya.

Penerapan atribut kota hijau juga menemui berbagai hambatan diantaranya tingginya pendanaan, keterbatasan lahan untuk ruang hijau, perilaku masyarakat yang kontraproduktif dan destruktif, pesatnya jumlah penduduk serta orientasi pembangunan yang lebih ke ekonomi. Berbagai hambatan tersebut harus disikapi dengan dengan leadership yang pro green, politik anggaran pro green serta didukung oleh komunitas hijau.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan kota di kabupaten. Masih perlukah penerapan kota hijau di kota kecil yang masih terdapat lahan non terbangun yang cukup luas. Ruang hijau alamipun bisa mencapai lebih dari 30% sesuai dengan standar Undang-Undang. Sebagian besar kota kabupaten di Indonesia masih memiliki ciri pedesaan dengan adanya lahan pertanian sawah maupun tegalan. Kota di kabupaten juga jauh dari permasalahan seperti banjir sehingga tidak perlu green water dan green open space, kemacetan sehingga tidak perlu green transportation. Energi masih bisa tersuplai PLN sehingga tidak perlu green energy, dan bangunan tidak perlu “ditempeli” tanaman atap karena lingkungan sekitarnya masih hijau. 

Terkait dengan green open space, biasanya kota di kabupaten sudah memiliki hamparan sawah yang masih cukup luas. Jika sawah tersebut dialihfungsikan menjadi sebuah ruang hijau seperti taman (park), maka nilai ekonomis dari lahan tersebut akan hilang. Sebuah taman tidak akan memberikan nilai ekonomi bagi pemilik lahan. Pembangunan taman (park) juga dirasa tidak perlu karena secara ekologis ruang hijau di kota kabupaten masih melimpah (lebih dari 30%). 

Kalau begitu, masih relevankah konsep kota hijau dengan atributnya diterapkan di kota kabupaten. Sejenak, marilah kembali ke esensi dari kota hijau. Kota hijau harus dipandang sebagai sebuah instrumen untuk membuat warga kota hidup lebih bahagia. Kebahagiaan tersebut akan diraih jika kota menyediakan ruang seperti taman (park) bagi interaksi antar warga maupun interaksi dengan alam. Bahkan menurut psikolog, bahwa interaksi dengan alam dapat menurunkan tingkat derajat stres seseorang. Dalam sebuah acara TED-x, seorang arsitek @ridwankamil pernah berkata “ Kota yang baik adalah jika warganya mau keluar rumah secara sukarela “. Jika kita tidak tau mau pergi kemana, takut keserempet mobil, takut naik angkot, takut kebanjiran, takut menghirup polusi, takut kecopetan, takut ada tawuran, takut akan bau sampah berarti ada yang salah dengan kota tersebut. Bisakah konsep kota hijau mewujudkan kebahagiaan warganya?

Are You Happy???

Follow me on twitter : @harend26