Minggu, 17 Februari 2013

Polemik Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten


Sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2011 tentang Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan maka setiap daerah harus menetapkan dimana lahan yang harus "diselamatkan" dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan.

Permasalahan yang banyak ditemui di kabupaten adalah sebagian besar lahan pertanian beririgasi teknis berada di kawasan perkotaan kabupaten. Muncul dilema antara mempertahankan lahan pertanian tersebut dengan mengubah fungsi petanian menjadi fungsi "kota". Secara sederhana, kota merupakan kawasan dengan peruntukan non pertanian. Desakan pembangunan di kawasan kota perlahan-lahan mengancam keberadaan lahan pertanian tersebut. Bahkan di berbagai daerah di Indonesia, lahan pertanian di kawasan kota berubah menjadi kawasan komersial, industri, perkantoran dan perumahan.

Jika kita melihat kesesuaian dan kemampuan lahan untuk peruntukan pertanian dan kawasan terbangun maka keduanya sebenarnya berada pada klasifikasi yang sama. Hampir semua variabel dan indikator yang menentukan kesesuaian dan kemampuan lahan antara keduanya memiliki kesamaan. Sebagai contoh sederhana adalah sawah dan kawasan terbangun sama-sama membutuhkan ketersediaan air tanah yang cukup, sama-sama berada pada kelerengan 0-15%, tidak berada pada kawasan rawan bencana, memiliki curah hujan yang tinggi. Jadi jika perencana melakukan analisis kemampuan dan kesesuaian lahan maka kedua penggunaan lahan untuk pertanian dan kawasan terbangun terletak pada lokasi yang sama. Lokasi tersebut pada kabupaten biasanya terletak di kawasan datar/ibukota kecamatan.

Lalu bagaimana sebaiknya pemerintah daerah menyikapi permasalahan tersebut??

Pertama, tentukan dulu kemana arah pengembangan kota ke depan. Disini, dibutuhkan pemimpin yang visioner. Jika kota pertanian/agropolitan yang menjadi tujuan maka keberadaan lahan pertanian mutlak harus dilindungi dan memberikan mekanisme perijinan yang ketat terhadap perubahan fungsi lahan. 

Kedua, Hitung berapa proyeksi penduduk jangka panjang. Misal: 20 tahun. Berapa kebutuhan pangan untuk jangka waktu tersebut. Berapa luas lahan yang dibutuhkan. Dengan adanya hitungan tersebut maka dapat diketahui apakah lahan pertanian yang ada saat ini perlu dipertahankan, ditambah luasannya atau malah bisa di kurangi luasannya untuk mengakomodasi pembangunan sebuah kota.  

Ketiga, ketahui siapa pemilik lahan pertanian tersebut. Yang terjadi saat ini adalah lahan pertanian di kawasan kota sudah dikuasai oleh pemodal. Dan petani penggarap hanya menyewa sehingga suatu saat dapat diambil alih oleh pemilik lahan/pemodal. Jika keadaannya memang demikian, maka akan sulit lahan  tersebut dipertahankan tetap menjadi lahan pertanian.

Keempat, insentif kepada petani yang juga pemilik lahan pertanian. Pemerintah harus memberikan prasarana seperti jaringan irigasi. Melakukan penyuluhan dan bantuan pupuk. Disinsentif juga diberlakukan kepada pemodal seperti pemberian pajak yang tinggi dan tidak diterbitkan perijinan untuk kegiatan non pertanian.Disinsentif di bidang infrastruktur juga bisa dijadikan strategi mempertahankan lahan pertanian. Misal dengan membuat jaringan jalan sebagai "pembatas" perkembangan kota.

Kelima, bank lahan. Jika pemerintah memiliki kelebihan uang maka dapat membeli lahan. Lahan tersebut bisa dimanfaatkan untuk tujuan mempertahankan lahan pertanian. 

Tentunya masih banyak lagi solusi dalam rangka implementasi UU No. 41 Tahun 2011 tentang penetapan lahan pertanian berkelanjutan di kabupaten. Yang jelas lahan pertanian di sebuah kota bukanlah sesuatu yang haram walaupun kota itu sendiri didefinisikan sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi (Permen PU No. 20 Tahun 2012).

Dan sebagai pengambil kebijakan, sudah seyogyanya penentuan dimana lahan pertanian berkelanjutan terutama di kawasan perkotaan melalui analisis yang detail, komprehensif, orientasi ke depan dan partisipatif. Bukan hanya melihat kondisi eksisting dimana ada lahan sawah beririgasi teknis dengan otomatis ditetapkan sebagai lahan pertanian berkelanjutan. Serta kebutuhan pangan tidak hanya berupa beras saja. Ada ketela dan sagu yang telah turun menurun menjadi makanan leluhur.

Februari 2013


Follow me on twitter : @harend26