www.koran-jakarta.com |
Kota
sebagai organisme akan terus tumbuh dan berkembang seiring dengan berjumlahnya
jumlah penduduk. Telah muncul prediksi banyak ahli bahwa pada tahun 2030
sebesar 60% jumlah penduduk akan tinggal di kota. Sebagai organisme, maka kota
juga memiliki daya tahan berupa daya dukung dan daya tampung wilayah.
Pengembangan kota yang tidak terkendali hanya akan memunculkan permasalahan
yang mengganggu aktivitas warganya. Permasalahan tersebut diantaranya kemacetan,
banjir, polusi, pencemaran, kekumuhan, kriminalitas, kesenjangan sosial dan
berkurangnya ruang terbuka.
Menanggapi
permasalahan tersebut, maka perlu solusi untuk menjamin aktivitas warga kota
berjalan sesuai harapan. Konsep-konsep yang berwawasan lingkungan mulai
dijadikan panglima dalam pengembangan kota. Muncul berbagai istilah pada even
kontekstual diantaranya eco city,
sustainable city, ecological city, smart city, kota hijau, dan kota
berkelanjutan. Konsep-konsep tersebut
berusaha menjawab tantangan pengembangan kota di masa mendatang bahwa
pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak akan berarti apa-apa jika warganya tidak
memiliki rasa bahagia tinggal di kota.
Lalu
pertanyaannya adalah seperti apakah konsep konsep hijau tersebut dan bagaimana
konsep tersebut bekerja di kota yang tingkat kompleksitas permasalahannya
sangat tinggi. Kota hijau merupakan kota yang memanfaatkan air energi secara
efektif dan efisien, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu,
menjamin kesehatan lingkungan, mensinergikan lingkungan alami dan buatan,
berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang menerapkan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan (www.unep.org/wed).
Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kota hijau tidak
hanya memperbanyak ruang hijau tetapi juga memiliki infrastruktur yang ramah
lingkungan bagi warganya serta komunitas yang concern. Kota hijau memiliki atribut diantaranya green planning and design, green open space,
green water, green waste, green community, green transportation, green energy dan green building. Ke-delapan atribut
tersebut merupakan sistem yang harus sinergi dalam implementasinya.
Penerapan
atribut kota hijau juga menemui berbagai hambatan diantaranya tingginya
pendanaan, keterbatasan lahan untuk ruang hijau, perilaku masyarakat yang
kontraproduktif dan destruktif, pesatnya jumlah penduduk serta orientasi
pembangunan yang lebih ke ekonomi. Berbagai hambatan tersebut harus disikapi
dengan dengan leadership yang pro green, politik anggaran pro green serta didukung oleh komunitas
hijau.
Pertanyaan
selanjutnya adalah bagaimana dengan kota di kabupaten. Masih perlukah penerapan
kota hijau di kota kecil yang masih terdapat lahan non terbangun yang cukup
luas. Ruang hijau alamipun bisa mencapai lebih dari 30% sesuai dengan standar Undang-Undang.
Sebagian besar kota kabupaten di Indonesia masih memiliki ciri pedesaan dengan
adanya lahan pertanian sawah maupun tegalan. Kota di kabupaten juga jauh dari
permasalahan seperti banjir sehingga tidak perlu green water dan green open
space, kemacetan sehingga tidak perlu green
transportation. Energi masih bisa tersuplai PLN sehingga tidak perlu green energy, dan bangunan tidak perlu
“ditempeli” tanaman atap karena lingkungan sekitarnya masih hijau.
Terkait
dengan green open space, biasanya
kota di kabupaten sudah memiliki hamparan sawah yang masih cukup luas. Jika
sawah tersebut dialihfungsikan menjadi sebuah ruang hijau seperti taman (park), maka nilai ekonomis dari lahan
tersebut akan hilang. Sebuah taman tidak akan memberikan nilai ekonomi bagi
pemilik lahan. Pembangunan taman (park)
juga dirasa tidak perlu karena secara ekologis ruang hijau di kota kabupaten
masih melimpah (lebih dari 30%).
Kalau
begitu, masih relevankah konsep kota hijau dengan atributnya diterapkan di kota
kabupaten. Sejenak, marilah kembali ke esensi dari kota hijau. Kota hijau harus
dipandang sebagai sebuah instrumen untuk membuat warga kota hidup lebih
bahagia. Kebahagiaan tersebut akan diraih jika kota menyediakan ruang seperti
taman (park) bagi interaksi antar warga maupun interaksi dengan alam. Bahkan
menurut psikolog, bahwa interaksi dengan alam dapat menurunkan tingkat derajat
stres seseorang. Dalam sebuah acara TED-x, seorang arsitek @ridwankamil pernah
berkata “ Kota yang baik adalah jika warganya mau keluar rumah secara sukarela
“. Jika kita tidak tau mau pergi kemana, takut keserempet mobil, takut naik
angkot, takut kebanjiran, takut menghirup polusi, takut kecopetan, takut ada
tawuran, takut akan bau sampah berarti ada yang salah dengan kota tersebut.
Bisakah konsep kota hijau mewujudkan kebahagiaan warganya?
Are
You Happy???
Follow me on twitter : @harend26