Selasa, 15 Januari 2013

Aku dan dua perempuan

Lukisannya Dullah

Suara deru motor di jalanan depan rumah cukup memekakkan telinga. Sambil sedikit membuka mata, disampingku masih tertidur pulas seorang perempuan. Kepala ini sedikit pusing. Malam yang cukup buruk bagiku. Badan meriang di tengah derasnya hujan yang bersahutan di luar sana. Tidak seperti perempuan itu. Terlihat sekali menikmati hujan di malam sahdu. Sampai tak tau kalau aku sudah melihat paginya dunia terlebih dahulu. Aku masih ingat sebuah ungkapan, “Pagi menjadi berkesan bukan karena pagi, tapi dengan siapa kita di waktu pagi”. 


Di rumah mungil yang halaman belakangnya lebih luas dari halaman depannya, aku tinggal bersama 2 perempuan. Kebetulan aku lelaki satu-satunya. Sudah hampir 2 bulan aku hanya terbaring di kasur. Bahkan tuk beranjakpun aku tak mampu. Dua perempuan itulah yang membantuku selama ini. Dari membuatkan asupan makanan dan membersihkan sisa kotoran buang air kecil dan besar


Akupun tahu, kadang mereka menggerutu. Disibukkan dengan pekerjaan di siang harinya, tentunya malam hari adalah saat ketika penat dilepaskan dengan sangat di kamar tidur. Tapi apa dayaku, hanya mereka yang kuharapkan membantuku. Kadang mereka bergantian menjagaku. Sekedar memastikan bahwa aku tak membasahi kasur dengan air seniku. Semacam kerja shif seperti di perusahaan. Jika petang mulai berselang, aku sebenarnya sudah berusaha buang air kecil agar sepanjang malam tak terasa. Tapi apa daya, udara dingin di luar sana membuyarkan rencana. 


Pagi ini aku bosan di dalam kamar. Kucoba mandiri berdiri, tapi apa daya aku tak sanggup. Badan ini terasa sangat berat. Aku takut jatuh dari ranjang dan malah membuat mereka marah. Perempuan pertama sibuk di dapur menyiapkan sarapan sedangkan perempuan kedua bersolek bersiap berangkat kerja. Pagi adalah saat tersibuk di rumahku. Tapi pagi ini keinginanku tuk sekedar melihat orang berlalu lalang di depan rumahku tak tertahankan. Sekedar melihat embun yang menetes di dedaunan. Atau menikmati hembusan angin dari balik bukit yang menyiratkan kebebasan pikiran. 


Aku tak tau sampai kapan kedua perempuan itu dengan sabar merawatku. Ingin rasanya segera meringankan beban mereka dengan membalas segala tindakannya. Tak lupa segenap doa terpanjat. Bersama hembusan angin yang sedikit menyayat. Di balik rumah, sayup-sayup terdengar suara motor pertanda perempuan kedua segera berangkat kerja. Pemandangan yang cukup asing bagiku selain melihatnya langsung memacu motornya di waktu pagi.. Perlahan suara deru motor menghilang seiring dengan masuknya siluet sinar mentari menembus sela-sela jendela. 


****


Sore itu hujan sedang marah. Anginpun ikut-ikutan memperburuk suasana. Suara pintu tertutup dengan paksa sedikit memekakkan telinga. Kedua perempuan itu sibuk mencari timba tuk mewadahi air yang menetes dari atap yang bocor. Saat itu aku sedang lapar dan dahaga. Ingin rasanya berteriak, perut terasa teraduk oleh 2 tembang keroncong jawa. Aku sudah tak kuat lagi, hingga pipi ini basah oleh air mata. Tak sederas hujan di luar sana. Tapi cukup pedih terasa di dada. Untungnya perempuan kedua segera beranjak ke kamar. Dengan cekatan dibuatlah asupan. Sekejap, laparpun beranjak pergi diiringi lantunan lagu gending jawa mengalun dari mulut tipisnya. 


*****


Minggu ketiga di bulan Desember......


Pagi itu aku agak bangun kesiangan. Tak seorangpun kulihat di dalam kamar. Mungkin perempuan pertama sibuk menyiapkan sarapan. Tapi perempuan kedua tak mungkin bersolek karena ini adalah minggu. Sayup-sayup terdengar suara dua perempuan yang semakin jelas. Rupanya, kedua perempuan itu terlihat mempesona dengan aroma bau bunga sebagai parfumnya. Jelas sekali baju motif rona bunga sedikit membukakan mata. Akupun tak sadar bahwa baju yang kupakai tidur semalam sudah berganti. Sejak kapan mereka mengganti baju tidurku. Atau mereka sedang memiliki rencana yang tak kuketahui berniat memberi kejutan di hari minggu. Aaahhh sudahlah......, aku tak mau terlalu berharap. Semoga saja aku dibawa ke sebuah tempat di luar sana agar sebentar kulihat dunia yang sebenarnya. Dunia yang menungguku selama ini. Pilihan yang harus kujalani sejak tumbuh dalam rahim ibuku. Kini aku harus bisa hidup mandiri. Tak lagi mengandalkan asupan makanan dari plasenta ibuku dan berusaha menyesuaikan diri dengan dinginnya dunia yang mungkin tak sehangat rahim ibuku.


Kedua perempuan itu tersenyum bahagia di balik timbangan sebuah Posyandu. Aku telah tumbuh dengan sempurna. Bukan sempurna dalam arti sempit tapi ketika kita mampu melewati tahapan kehidupan dengan baik itulah kesempurnaan yang sebenarnya. Umurku hampir 2 bulan lamanya. Panjangku bertambah 15 cm dari semula dan berat badanku naik 2,3 kg. Setelah sampai rumah, perempuan kedua dengan mesra memintaku meminum susu dari putingnya.



Januari 2013

*Cerpen ini saya dedikasikan untuk seluruh ibu-ibu yg tdk hanya melahirkan tapi merawat dan membesarkan bayinya...


Follow me on twitter : @harend26