Lukisannya Dullah |
Suara
deru motor di jalanan depan rumah cukup memekakkan telinga. Sambil sedikit
membuka mata, disampingku masih tertidur pulas seorang perempuan. Kepala ini
sedikit pusing. Malam yang cukup buruk bagiku. Badan meriang di tengah derasnya
hujan yang bersahutan di luar sana. Tidak seperti perempuan itu. Terlihat
sekali menikmati hujan di malam sahdu. Sampai tak tau kalau aku sudah melihat
paginya dunia terlebih dahulu. Aku masih ingat sebuah ungkapan, “Pagi menjadi
berkesan bukan karena pagi, tapi dengan siapa kita di waktu pagi”.
Di
rumah mungil yang halaman belakangnya lebih luas dari halaman depannya, aku
tinggal bersama 2 perempuan. Kebetulan aku lelaki satu-satunya. Sudah hampir 2
bulan aku hanya terbaring di kasur. Bahkan tuk beranjakpun aku tak mampu. Dua
perempuan itulah yang membantuku selama ini. Dari membuatkan asupan makanan dan
membersihkan sisa kotoran buang air kecil dan besar.
Akupun
tahu, kadang mereka menggerutu. Disibukkan dengan pekerjaan di siang harinya,
tentunya malam hari adalah saat ketika penat dilepaskan dengan sangat di kamar
tidur. Tapi apa dayaku, hanya mereka yang kuharapkan membantuku. Kadang mereka
bergantian menjagaku. Sekedar memastikan bahwa aku tak membasahi kasur dengan
air seniku. Semacam kerja shif seperti di perusahaan. Jika petang mulai
berselang, aku sebenarnya sudah berusaha buang air kecil agar sepanjang malam
tak terasa. Tapi apa daya, udara dingin di luar sana membuyarkan rencana.
Pagi
ini aku bosan di dalam kamar. Kucoba mandiri berdiri, tapi apa daya aku tak
sanggup. Badan ini terasa sangat berat. Aku takut jatuh dari ranjang dan malah
membuat mereka marah. Perempuan pertama sibuk di dapur menyiapkan sarapan
sedangkan perempuan kedua bersolek bersiap berangkat kerja. Pagi adalah saat
tersibuk di rumahku. Tapi pagi ini keinginanku tuk sekedar melihat orang
berlalu lalang di depan rumahku tak tertahankan. Sekedar melihat embun yang
menetes di dedaunan. Atau menikmati hembusan angin dari balik bukit yang
menyiratkan kebebasan pikiran.
Aku
tak tau sampai kapan kedua perempuan itu dengan sabar merawatku. Ingin rasanya
segera meringankan beban mereka dengan membalas segala tindakannya. Tak lupa
segenap doa terpanjat. Bersama hembusan angin yang sedikit menyayat. Di balik
rumah, sayup-sayup terdengar suara motor pertanda perempuan kedua segera
berangkat kerja. Pemandangan yang cukup asing bagiku selain melihatnya langsung
memacu motornya di waktu pagi.. Perlahan suara deru motor menghilang seiring
dengan masuknya siluet sinar mentari menembus sela-sela jendela.
****
Sore
itu hujan sedang marah. Anginpun ikut-ikutan memperburuk suasana. Suara pintu
tertutup dengan paksa sedikit memekakkan telinga. Kedua perempuan itu sibuk
mencari timba tuk mewadahi air yang menetes dari atap yang bocor. Saat itu aku
sedang lapar dan dahaga. Ingin rasanya berteriak, perut terasa teraduk oleh 2
tembang keroncong jawa. Aku sudah tak kuat lagi, hingga pipi ini basah oleh air
mata. Tak sederas hujan di luar sana. Tapi cukup pedih terasa di dada.
Untungnya perempuan kedua segera beranjak ke kamar. Dengan cekatan dibuatlah
asupan. Sekejap, laparpun beranjak pergi diiringi lantunan lagu gending jawa
mengalun dari mulut tipisnya.
*****
Minggu
ketiga di bulan Desember......
Pagi
itu aku agak bangun kesiangan. Tak seorangpun kulihat di dalam kamar. Mungkin
perempuan pertama sibuk menyiapkan sarapan. Tapi perempuan kedua tak mungkin
bersolek karena ini adalah minggu. Sayup-sayup terdengar suara dua perempuan
yang semakin jelas. Rupanya, kedua perempuan itu terlihat mempesona dengan
aroma bau bunga sebagai parfumnya. Jelas sekali baju motif rona bunga sedikit
membukakan mata. Akupun tak sadar bahwa baju yang kupakai tidur semalam sudah
berganti. Sejak kapan mereka mengganti baju tidurku. Atau mereka sedang
memiliki rencana yang tak kuketahui berniat memberi kejutan di hari minggu.
Aaahhh sudahlah......, aku tak mau terlalu berharap. Semoga saja aku dibawa ke
sebuah tempat di luar sana agar sebentar kulihat dunia yang sebenarnya. Dunia
yang menungguku selama ini. Pilihan yang harus kujalani sejak tumbuh dalam
rahim ibuku. Kini aku harus bisa hidup mandiri. Tak lagi mengandalkan asupan
makanan dari plasenta ibuku dan berusaha menyesuaikan diri dengan dinginnya
dunia yang mungkin tak sehangat rahim ibuku.
Kedua
perempuan itu tersenyum bahagia di balik timbangan sebuah Posyandu. Aku telah
tumbuh dengan sempurna. Bukan sempurna dalam arti sempit tapi ketika kita mampu
melewati tahapan kehidupan dengan baik itulah kesempurnaan yang sebenarnya.
Umurku hampir 2 bulan lamanya. Panjangku bertambah 15 cm dari semula dan berat
badanku naik 2,3 kg. Setelah sampai rumah, perempuan kedua dengan mesra
memintaku meminum susu dari putingnya.
Januari
2013
*Cerpen ini saya dedikasikan untuk seluruh ibu-ibu yg tdk hanya melahirkan tapi merawat dan membesarkan bayinya...
Follow
me on twitter : @harend26