Jumat, 15 Maret 2013
Arjuna Hidup di Alam Demokrasi
Namaku Arjuna, penengah pandawa. Kakakku Yudistira dan Werkudara. Sedangkan kedua adik kembarku Nakula-Sadewa. Kami berlima sekarang tinggal di negeri seberang. Dengan demokrasi sebagai panglima. Disini demokrasi dipuja dan disembah layaknya raja. Segala perkara diselesaikan lewat tangan dingin demokrasi. Tak terkecuali masalah keluarga kami. Biasanya kakakku yang tertua, Yudistira yang memimpin rapat.
Matahari masih di ujung senja, saya duduk mematung di sudut ruangan. Hari ini akan ada pertemuan keluarga. Pesan BBm Yudistira kuterima semenjak suara alarm alam bersahutan menyambu pagi. Ya, suara kokok ayam masih setia membangunkanku. Di jaman sekarang mungkin alarm alam tersebut tak pernah lagi dirasakan masyarakat perkotaan yang hanya mendengar deru kendaraan lewat di jalanan. Disini masih ada suara simphoni kodok di musim hujan, suara jangkrik memecah malam serta kokok ayam menyambut mentari di balik awan.
Kami sepakat bertemu pukul 16.30. Di balik dinding atas jendela, jam menunjuk angka 16.45. Sudah 15 menit saya menunggu mereka. Semenjak pergi ke negeri ini, molor dan telat sepertinya sedang mewabah budaya bangsa. Di kota besar, macet menjadi alasan utama. Tapi di kota kecil yang jalannya sepi nan sering usang di makan air hujan, masih saja saudara-saudaraku tak bisa menepati waktu janjian. Aaahhh sudahlah.. Saya tengok sedikit timeline twitter saja. "Gerutuku".
Tepat pukul 17.00, si kembar Nakula - Sadewa datang dengan gontainya. Sepertinya mereka sedang lusuh dilanda persoalan entah apa saya tidak tau.
"Brooo, gimana ini.. Masa' rumah harus kita robohkan" Celutuk Nakula.
"Itu kan satu-satunya warisan orang tua kita brooo... ". Sahut Sadewa
Tanpa sempat kujawab, kakak Yudistira dan Bima datang hampir bersamaan. Yudistira langsung menempati singgasana di tengah2 meja dan kita duduk mengelilinginya. Maaf saudara-saudara. Saya datang telat sekali. Banyak kesibukan yang harus diselesaikan. "Hmmm... emangnya situ saja yang sibuk.. ". Kataku dalam hati. "Seharusnya sesibuk apapun kita, jangan sampai mengganggu kesibukan orang lain. Mungkin dengan ketelatan 1 orang akan menggangu jadwal dan agenda2 yang lain". Kesalku dalam hati...
Tanpa berpanjang lebar. Yudistira langsung menawarkan opsi kalau rumah harus dipertahankan. Bahkan nyawapun menjadi taruhan. Hal ini diamini Bima. Bima merasa memiliki kenangan yang tak terlupakan dengan rumah yang dihuni mereka berlima sejak masih ingusan. "Di sini, aku bebas melihat jernihnya sungai dengan gemericik air yang menenangkan suasana. Disini juga tempat kita menghilangkan dahaga". Ujar Bima sedikit terbata-bata. "Mungkin adikku Arjuna ada pendapat" Sambung Yudistira.
Baiklah saudara2ku. Keadaan sekarang dengan dulu jauh sangat berbeda. Negeri tempat kita berlima berpijak ini tak lagi dipimpin oleh raja. Sungai nan jernih dan suara air gemericik tak lagi terdengar. Lingkungan di hulu sungai dirusak manusia yang mengatasnamakan pembangunan. Masyarakat di sekitar rumah kita semakin banyak. Rumah berjejal-jejal membelakangi sungai bak mobil F1 yang saling beradu di lintasan. Hanya rumah kita saja yang berhalaman depan sungai. Lainnya pada membelakanginya. Merekapun tak segan buang sampah dan hajat di sungai. Sungai semakin tercemar. Ikan-ikan tak lagi betah berenang hingga berangsur2 hanyut mengapung bersama sampah.
"Oooo.. ini to ternyata alasan para penguasa mau menggusur rumah kita ". Kata Nakula antusias.
"Lalu, kenapa baru sekarang mereka mau menggusur rumah-rumah tepi sungai termasuk rumah kita?" Sambung Sadewa tak mau kalah.Saya yakin mereka takkan berani melakukannya. Disudut sungai ini, akan dibangun wahana bermain, tepat ditepi sungai dengan dana milyaran rupiah. Konon investornya sudah terakses dengan salah satu penguasa. Lha tentunya rumah kita juga aman dari buldoser yang sewaktu2 mendera.
"Sebentar saudara2... Hukum harus ditegakkan. Aturan sangat jelas bahwa sekitar 15 m dari bibir sungai harus bebas dari bangunan. Itu upaya untuk menyelamatkan sungai sebagai satu kesatuan ekosistem. Yang ada jika bangunan semakin rapat, maka sampah semakin menumpuk, sungai menjadi dangkal, tercemar bahkan banjir di kawasan sekitar". Kata Arjuna.
"Semakin pintar saja kau Arjuna". Potong Bima dengan pandangan yang tajam. "Jadi kau tak sudi lagi mempertahankan rumah peninggalan orang tua kita. Kata2mu kan cuma aturan. Aturan dibuat kan untuk dilanggar".
"Aku setuju dengan Bima, saudaraku". Sang pimpinan rapat berbicara. Kalau kita lihat di negeri seberang. Banyak juga bangunan yang mepet pet dengan sungai. Toh ga dilarang. Malah sungainya dijadikan sarana transportasi warganya". "Itu aturan yang ga bener saudara Arjuna. Tak usah kita hiraukan aturan itu. Ayo rumah kita pertahankan sebagai warisan kedua orang tua kita".
"Setujuuuuu.....". Jawab Nakula-Sadewa kompak.
"Jadi saya putuskan bahwa rumah kita pertahankan dengan sepenuh jiwa. Kita abaikan aturan negeri ini. Toh di negeri seberang tidak jadi permasalahan. Kita sudah ikut arus demokrasi di negeri ini. Bahwa keputusan diambil dari suara terbanyak. Dan kau saudara Arjuna. Satu-satunya yang tidak sependapat dengan kita.". Begitulah sang pimpinan rapat menutup acara.
Di negeri demokrasi ini, kebenaran ditentukan oleh banyak-banyaknya suara. Padahal saya yakin seyakin-yakinnya, bahwa suara terbanyak belum tentu benar. Yaaaaa... Inilah klenik demokrasi.. "suara Arjuna dalam hati.
Trenggalek, Maret 2013
Follow me on twitter : @harend26
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar